Tuesday, December 10, 2013

Ana Yang Malang

"Aku ingin menjadi hujan."

"Hujan itu menyusahkan. Dinginnya membuatku lapar. Tapi aku enggak bisa ke mana-mana!"

"Itu hanya jika kamu takut basah. Lihat aku! Aku adalah putri duyung yang menari jika menyentuh air. Cantik."

"Bodoh. Duyung itu sejenis ikan yang hidup di dalam laut yang benar-benar dalam! Aku enggak pernah lihat ada makhluk yang tinggal di palung laut itu cantik!"

"Apa yang kamu tahu? Keluar rumah pun kamu jarang. Emangnya kamu pernah lihat sendiri palung laut itu seperti apa?"

TOK TOK!!! Pintu diketuk dari luar. Lalu dibuka.

"Ana, kamu belum tidur?"

Ana hanya diam duduk di atas tempat tidurnya menghadap sebuah cermin besar yang menempel pada dinding di samping pintu kamar seukuran tubuhnya, anak berumur tujuh tahun.

Sang ibu, Riana, murung. Sejak suaminya yang juga ayah kandung Ana pergi meninggalkan mereka tanpa kabar dua tahun yang lalu, Ana berubah menjadi anak yang pendiam. Tapi anehnya, kadang Riana mendengar suara Ana dari luar kamar. Berbicara sendiri.

Riana mendekati putrinya yang sedang memakai pakaian tidur berwarna merah muda itu. "Sayang, tidur ya...sudah malam," ujarnya sambil merebahkan tubuh anak tersayangnya itu. Agar cepat tertidur.

Tak ada respon apapun dari Ana. Hanya menuruti ibunya. Lalu dia menenggelamkan diri ke dalam sebuah selimut tebal bermotif bunga anggrek ungu.

Setidaknya Riana bisa tersenyum lega karena sang anak tak pernah merepotkannya. Dia pun menjauhi tempat tidur, ke arah pintu kamar.

"Eh, siapa kamu?!" Riana kaget setengah mati saat tiba-tiba melihat seorang wanita berdiri di hadapannya.

"Kamu yang siapa?! Ini rumahku!"

"Apa?! Apa kamu ke sini bersama suamiku?! Apa kamu wanita jalang itu?! hah?!"

"Hahahaha!"

Ana menutup matanya keras-keras mendengar kegaduhan itu. Tapi dia tidak menangis. Air matanya sudah habis sejak lama. Dia sudah terbiasa dengan keadaan di malam ini.

Saturday, December 7, 2013

Kesadaran di Saat Tidak Sadar

Kucermati belati yang ada di tangan kananku. Keringat membanjiri gagang belati itu. Mata pisaunya sudah berkarat. Jika kutancapkan ke tubuh seseorang, setidaknya dia akan terkena tetanus jika tak mati lebih dulu oleh tusukkanku.

Dua hari yang lalu aku tidak biasa berpikiran sejahat itu, tapi keadaan memaksaku untuk menanamkan sifat kejam dalam diriku.  Kini, aku adalah manusia menjijikan yang mencari nafkah dengan menjadi perampok. Anak dan istriku harus kuberi makan. Dan pekerjaan yang halal sudah sangat susah dicari di kota sebesar Jakarta ini.

Kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jam satu dini hari. Dingin. Sepi. Sudah satu jam aku duduk bersandar pada dinding beton yang sudah tidak utuh lagi bagian atasnya. Bagian dari bangunan yang sudah lama ditinggal pemiliknya, di salah satu sudut jalanan kota Jakarta. Menunggu mangsa yang bisa kupreteli barang-barang berharga yang dibawanya.

Jalanan ini adalah tempat strategis untuk memuluskan niat jahatku, karena sepi dan jauh dari rumah warga. Hanya dijejeri bangunan-bangunan kosong dan rerumputan liar. Siapapun yang lewat sini sendirian, artinya bunuh diri.

Beberapa saat kemudian kulihat dari kejauhan seorang gadis berjalan mendekat. Berpakaian minim dengan dandanan yang sedikit berlebihan. Mungkin dia adalah salah satu pekerja seks komersial yang tinggal di dekat sini. Jika benar, ini pasti hari keberuntunganku. Dia pasti membawa uang banyak hasil upahnya melayani lelaki hidung belang.

Gadis itu semakin dekat. Sepertinya dalam kondisi mabuk. Jalannya gontai. Sempoyongan. Hampir selalu terjatuh saat melangkahkan kakinya. Iblis pasti sedang merestui rencana jahatku.

Aku bangkit, mengambil ancang-ancang untuk menyerang gadis itu. Sekali pukul, pasti dia akan pingsan dan aku bebas mengambil barang-barangnya. Senyuman anak dan istriku sudah terbayang yang saat ini pasti sedang menungguku di rumah.

BRUK!!!

Kepalaku sakit. Pening. Seseorang memukulku dari belakang. Kubalikkan badanku dengan berat, mencari tahu siapa yang telah memukulku. BRUK!!! Sekali lagi aku dipukul tepat di dahi, membuatku jatuh tersungkur telungkup setengah sadar.

Tubuhku terasa sangat lemah. Tak bisa bergerak. Bahkan berteriakpun tak ada tenaga. Tapi mataku masih berfungsi. Kulihat dengan mendongakkan kepala, seseorang memegang balok kayu. Masih muda. Mungkin berusia sekitar tujuh belas tahun.

"Bang, maaf bang!" ujar pemuda itu panik yang terdengar sayup-sayup olehku. "Sa-saya cuma mau nyelamatin ibu saya yang ada di rumah sakit, bang!" sambungnya sambil mendekat ke wajahku. Aku tak mengenalnya, tidak sedikitpun aku memahami perktaannya tadi.

Masih lemah tak bisa bergerak, kudengar pemuda tadi berbicara lewat telepon. "Bang, aku udah dapat korbannya. Cepat kesini bang!" Suara pemuda itu terdengar bergetar. Ketakutan. "APA?! Aku eksekusi sendiri? Enggak mau!" Kemudian hening yang diikuti oleh napas menderu pemuda tadi. "Baik. Baik!. Demi ibu!" ucapnya, menutup telepon. Aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang apa yang dibicarakan olehnya.

Pemuda itu menyeretku sampai pada sebuah sudut gelap hingga takkan ada seorangpun yang bisa melihat kami dari arah jalanan, lalu dia meletakkan lutut kanann dan tangan kirinya di tanah sebagai penopang badannya di samping tubuhku, kemudian dia mengeluarkan sebilah pisau dari kantong jaketnya. Perlahan dia singkap bajuku, lalu meletakkan tangan kirinya di pinggangku.

Aku meronta sedikit sebelum dia memukul kepalaku lagi hingga aku benar-benar tak bisa bergerak.

Aku masih sadar. Bisa kurasakan tangannya bergetar saat memegangi pinggangku. Sesaat kemudian sebuah besi dingin menyentuh kulitku yang diikuti dengan rasa sakit yang teramat sangat. Yang kemudian baru kusadari dia mencoba mencuri organ dalamku. Mungkin Ginjal yang diincarnya.

Saat ini, aku tahu aku akan mati. Dan rasanya aku ingin tertawa terbahak. Niatku ingin menjahati seseorang, malah aku yang jadi korban kejahatan. Satu persamaan di antara kami, kami melakukan kejahatan untuk kebaikan orang yang kami cintai. Ini benar-benar menggelikan.

Air mataku jatuh. Bukan menahan sakit, tapi menyesali perbuatanku. Setidaknya aku ingin mati di samping orang-orang yang kucintai. Sedang berbuat baik. Tidak seperti ini.

Darahku sudah menggenangi tanah. Pandanganku kabur. Gelap. Ini saatnya aku menghilang di antara kelamnya langit yang masih legam.