Monday, September 28, 2015

Monolog Sakit

Aku ingin menjadi luka biasa. Yang jika kutahan sakitnya, besok atau bahkan malam nanti sakitnya sudah sembuh. Tapi sepagian ini bukanlah pesuruhku. Pun hatiku, pun hidupku. Semua masa bodoh dengan inginku.

Malam tadi jelas bukan luka biasa. Yang jika kuingat sakitnya, besok atau bahkan selamanya takkan hilang. Sungguh sepagian ini aku hidup di masa lampau. Pun ingatanku, pun kenanganku. Semakin aku pernah bahagia, semakin sakit rasanya.

Aku masih menjamah jemarimu hari ini setahun yang lalu, tiga tahun yang lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Masih merasakan napasmu di atas bibirku, saling menatap di kamar mandi tempat favorit kita, di mana tak seorangpun tahu cintaku padamu. Cintamu padaku. Hanya ada kita. Aku masih ingat semua.

Saat menemuimu di atas ranjang di pagi buta, merapikan rambutmu juga pakaianmu, menyuapkan makan pagi ke mulutmu, hingga tiba butanya malam, selalu menemanimu. Di mana kamu ada, aku ada. Dan betapa kumengagumi indah wujudmu setiap hari. Aku masih ingat semua.

Tapi bulan purnama di malam tadi adalah yang terakhir kita saksikan bersama. Oh, kejamnya hidup. Oh, irinya dunia. Selalu mereka pisahkan cinta sejati dengan kematian. Layaknya Romeo dan Juliet, Tidus dan Yuna, Aeris dan Zack. Dan tiba masanya kamu dan aku.

Aku masih ingin semua ini hanyalah luka biasa. Yang jika besok aku membuka mata, semua kembali seperti biasa. Tapi masa bodohlah dengan inginku. Saatnya kuucapkan selamat tinggal dan kubawa sakit ini sampai di kehidupan berikutnya.

Selamat tinggal... kamu, aku. Kita.