Wednesday, October 14, 2015

Kupanggil Kau Ayah

Jika aku darah, aku akan mengalir dalam hidupmu.
Jika aku tulang, aku akan menopang bebanmu.
Jika aku udara, aku akan menjadi napasmu.
Jika aku manusia...kupanggil kau ayah.

Entah kau, wanita sundel, atau bajingan mana yang sudah membunuhku.
Entah malam, entah siang. Yang kutahu, sudah hilang nyawaku.
Jika aku manusia...kupanggil kau ayah.

Aku tidak menyesal tidak mengenal indahnya dunia.
Aku hanya sedih tidak jadi memiliki seorang ayah.

Ibu, aku ingat aku pernah memilikimu.
Ibu, kenapa aku tidak ingat memiliki seorang ayah.

Hanya saja jika aku manusia, kupanggil kau ayah.

Dunia adalah matahari!
Dunia adalah bulan!
Dunia adalah kilauan!
Dunia adalah apapun! ...Kecuali kamu
Dan aku...tidak akan cinta dunia.

Jika aku manusia, kupanggil kau...

Ayah...

Tuesday, October 6, 2015

Jakarta Great Wall

Jakarta great wall. Dinding hebat sang ibu kota. Pemisah kami dan kamu.
Berapa mayat yang harus kami tumpuk untuk melompati dinding itu?
Sebusuk apa bau bangkai untuk melewati dinding itu?

Kamu yang di sana, membaca tulisan ini sambil bergurau dengan mulut terbuka.
Kami di sini, menulis sambil berduka dengan mulut tertutup. Karena siapa tahu, berikutnya kami membuka mulut, itu adalah saat terakhir paru-paru kami bernapas.

Kami menambang, kamu yang dapat uang.
Kamu mengisap, kami yang kena asap.

Jakarta great wall. Dinding hebat sang ibu kota. Negara kami dan kamu.
Haruskah kami genangi tanah kami dengan air mata untuk berenang ke pucuk dinding itu?
Haruskah kami kucurkan darah sampai jauh agar amisnya sampai di kotamu?

Kamu yang di sana, membaca tulisan ini, mengingat lalu melupakan.
Kami di sini, menulis, menunggu mati lalu dilupakan.

Jakarta Great wall.
Di luar ibu kota, dibunuh kebodohan, dibunuh kemiskinan, dibunuh ketidakpedulian.
Jakarta great wall. Dengarkan, tolong dengarkan.

Suara lirih dari anak-anak sang ibu kota.

Jakarta great wall. Hancurkan, tolong hancurkan.