Tuesday, May 27, 2014

Lelaki dan Cinta



Segelas kopi yang sudah menggigil di atas meja kayu di teras rumah kita, memasang wajah muram karena sudah satu jam tak juga diminum. Itu kopi hitam tanpa gula kesukaan buatan wanitamu, sayang. Buatanku.
Biasanya aku sediakan minuman hitam itu jam tujuh pagi sebelum kamu berangkat kerja, dan selalu kamu minum sebelum dingin. Tidak pernah satu pagi pun kamu melewatkan untuk menenggak habis kopi buatanku sambil tersenyum. Tapi pagi ini aku tidak melihat senyuman itu. Andai aku tidak tahu alasannya, aku pasti tidak sesakit ini.
Aku tahu ini bisa saja jadi yang pertama untuk selamanya. Tidak hanya kopi itu, tapi untuk semua kenangan yang pernah ada tentang kita di rumah ini.
Aku berjalan menuju ruang tamu yang dindingnya dicat merah muda. Dulu, kita sering memperdebatkan warna di ruang tamu ini. Kamu mau semua dicat biru dan abu-abu, tapi aku selalu merengek meminta dicat warna merah muda. Walaupun kamu mengabulkan permintaanku, tetap saja setiap pagi kamu selalu menggerutu pada dinding-dinding di ruangan ini. Dan perihnya, aku merindukan gerutuanmu itu sepagian ini.
Warna biru dan abu-abu menyirami sekeliling pandangan mataku, saat aku membuka pintu menuju kamar tidur kita. Aku ingat saat kamu menekuk wajahmu dan berkata, “Aku sudah mengalah di ruang tamu. Aku nggak mau kamar tidur kita berwarna merah muda. Giliran kamu yang mengalah sekarang.”
Tentu dengan terpaksa aku mengiyakan keinginanmu dan kita mengecat dinding kamar tidur kita dengan warna pilihanmu. Tapi sering aku tidak bisa tidur di kamar itu karena aku sangat tidak suka warnanya. Dan saat itu terjadi, kamu menggendongku ke ruang tamu dan kita tidur di sana di atas kursi lipat yang cukup empuk dan muat untuk kita berdua. Kamu memelukku semalaman hingga kita tertidur. Besoknya kamu langsung ingin mengganti warna kamar tidur kita dengan merah muda, tapi tidak kuizinkan. Aku hanya terlalu suka saat kamu menggendongku ke ruang tamu.
Sayang… aku tahu ingatan ini menyiksa. Tapi siksaan ini satu-satunya yang berharga bagiku sekarang. Lewat sakit hati, lewat air mata, aku merasakan keberadaanmu.
TOK! TOK!
Pintu depan diketuk. “Sayang… buka pintu…” kata sebuah suara yang tidak asing.
Aku membuka pintu.
Di depan pintu, kutemui Sony, suamiku sedang menggenggam segelas kopi yang kuletakkan di meja di teras tadi. Di hadapanku, diminumnya kopi itu dengan mata menyipit menahan pahit. Dihabiskannya sampai tak bersisa, lalu tersenyum ke arahku. Persis seperti yang dilakukannya selama dua tahun bersamaku.
“Maaf aku telat,” katanya memelas.
“Nggak apa-apa,” jawabku sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkannya masuk. Walau dalam hati aku sangat sedih dia datang telat hingga kopi yang kusediakan untuknya menjadi dingin.
Sony masuk ke dalam rumah dan melihat ke sekeliling. “Duh, dinding merah jambu ini lagi,” gerutunya sambil menghembuskan napas berat. Seperti tidak pernah rela.
Aku hanya meliriknya sambil tersenyum. Gerutuan yang kurindukan akhirnya kudengar lagi.
“Kamu nggak buru-buru, sayang? Nanti kamu telat masuk kantor.” Aku mendekati Sony dan membetulkan dasi yang mengalung di kerah bajunya.
“Hari ini aku bolos kerja. Ini kan hari istimewa untukmu. Maksudku, untuk kita,” jawabnya terbata.
Aku tidak peduli tadi dia terbata karena apa, tapi aku langsung memeluknya. “Aku sangat mencintaimu, sayang.” Hanya kuucapkan dalam hati.
Kemudian Sony menuntunku menuju kamar tidur dan memperlihatkan tawa kemenangannya. “Oh, kamar tidur dengan warna kesukaanku! Kita bertemu lagi!” Sebenarnya tawanya itu terdengar seperti sangat dipaksakan. Lalu dia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. “Sini…” ajaknya kemudian padaku untuk berbaring di sebelahnya.
Dan selanjutnya bisa ditebak. Walau aku berbaring di sampingnya, tapi aku sangat gelisah. Aku masih tidak bisa suka dengan warna dinding kamar itu.
Tapi Sony langsung menggendong tubuhku keluar kamar tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia sudah merencanakan untuk melakukan hal itu. Dia sangat tahu aku menyukai caranya menggendongku keluar kamar menuju ruang tamu. Tapi yang tidak kumengerti, wajahnya terlihat lelah. Dia terlihat tidak bahagia lagi.
Beberapa menit kemudian kami sampai pada kursi lipat di ruang tamu. Berbaring bersampingan, berpelukan. Ini adalah momen favoritku.
“Sony, terima kasih… kamu adalah suami paling romantis di dunia ini.” Aku membenamkan wajahku di dadanya, memeluknya semakin erat.
Tapi Sony tak menjawab. Telingaku yang sangat dekat dengan jantungnya mendengar irama yang sangat tak beraturan. “Sony, kamu kenapa…?” tanyaku.
Lagi-lagi lelaki yang kucintai itu tak menjawab. Membuatku sungguh khawatir.
Aku mendongakkan kepala, dan melihat air mata mengucur deras di pipinya.
“Selamat ulang tahun perkawinan yang keempat…” jawabnya terisak. Rahangnya terlihat dari balik pipi saling mengadu, seakan menahan sakit.
Mendengar perkataannya itu, air mataku pun menderu tanpa aba-aba. “Iya, selamat ulang tahun perkawinan kita yang keempat, Sony…”
Tiba-tiba Sony melepaskan pelukannya dariku dan duduk di pinggiran kursi lipat.
“Sony…?” tanyaku was-was sambil duduk di sampingnya dan memeluknya.
“Sudah cukup…” geramnya pelan.
“Apanya?”
“Sudah dua tahun aku menemanimu sejak kematian Sony, suamimu, dua tahun yang lalu. Aku melakukan semua yang Sony lakukan padamu. Aku meminum kopi pahit, berpura-pura sebagai pekerja kantoran, menggerutu pada dinding, dan menggendongmu saat kamu gelisah. Aku ingin membuatmu bahagia. Tapi… selama dua tahun kita bersama, kamu bahkan nggak pernah panggil aku dengan nama asliku. Harlan. Namaku Harlan, bukan Sony!”
Aku langsung terdiam bisu dan buru-buru melepaskan pelukanku darinya mendengar pernyataannya itu. Aku hanya cinta padamu, Sony. Bukan Harlan atau siapapun.
Harlan berdiri menghadap ke arahku. “Dua tahun kamu bersama Sony, dan dua tahun kamu bersamaku. Aku pikir kita impas! Tidak bisakah mulai besok kamu mulai mencintaiku sebagai diriku sendiri? Setidaknya mulai memanggilku dengan nama asliku? Asri… aku sungguh-sungguh mencintaimu… jauh sebelum kamu mengenal Sony…”
“Aku hanya mencintai Sony. Dari awal kamu yang menawarkan diri untuk menggantikan Sony dengan meniru semua perlakuannya padaku. Kalau kamu sudah nggak sanggup, pergi saja!” jawabku dingin. Maaf Harlan, tidak pernah ada sedikitpun hatiku kubagi untukmu.
Hening di antara kami selama beberapa menit sebelum Harlan berlutut dan menangis di kakiku. Menangis sejadi-jadinya sampai membanjiri daster yang kukenakan.
“Aku hanya cinta kamu…” gumamnya.




Besoknya.

“Sony, untuk apa kaleng cat sebanyak itu?” Aku memperhatikan Sony yang sedang menjinjing beberapa kaleng cat dari gudang rumahku.
Dia tersenyum. Kali ini dengan senyuman yang terlihat sangat tulus. “Aku ingin mengganti warna dinding kamar tidur kita. Biar kamu bisa tidur!” jawabnya bersemangat.
“Jangan! Biarkan saja warnanya biru dan abu-abu. Aku tidak keberatan! Lagipula, aku suka kalau kamu menggendongku ke ruang tamu saat aku nggak bisa tidur di kamar.”