Segelas
kopi yang sudah menggigil di atas meja kayu di teras rumah kita, memasang wajah
muram karena sudah satu jam tak juga diminum. Itu kopi hitam tanpa gula
kesukaan buatan wanitamu, sayang. Buatanku.
Biasanya
aku sediakan minuman hitam itu jam tujuh pagi sebelum kamu berangkat kerja, dan
selalu kamu minum sebelum dingin. Tidak pernah satu pagi pun kamu melewatkan
untuk menenggak habis kopi buatanku sambil tersenyum. Tapi pagi ini aku tidak
melihat senyuman itu. Andai aku tidak tahu alasannya, aku pasti tidak sesakit
ini.
Aku
tahu ini bisa saja jadi yang pertama untuk selamanya. Tidak hanya kopi itu,
tapi untuk semua kenangan yang pernah ada tentang kita di rumah ini.
Aku
berjalan menuju ruang tamu yang dindingnya dicat merah muda. Dulu, kita sering
memperdebatkan warna di ruang tamu ini. Kamu mau semua dicat biru dan abu-abu,
tapi aku selalu merengek meminta dicat warna merah muda. Walaupun kamu
mengabulkan permintaanku, tetap saja setiap pagi kamu selalu menggerutu pada
dinding-dinding di ruangan ini. Dan perihnya, aku merindukan gerutuanmu itu
sepagian ini.
Warna
biru dan abu-abu menyirami sekeliling pandangan mataku, saat aku membuka pintu
menuju kamar tidur kita. Aku ingat saat kamu menekuk wajahmu dan berkata, “Aku
sudah mengalah di ruang tamu. Aku nggak mau kamar tidur kita berwarna merah
muda. Giliran kamu yang mengalah sekarang.”
Tentu
dengan terpaksa aku mengiyakan keinginanmu dan kita mengecat dinding kamar
tidur kita dengan warna pilihanmu. Tapi sering aku tidak bisa tidur di kamar
itu karena aku sangat tidak suka warnanya. Dan saat itu terjadi, kamu
menggendongku ke ruang tamu dan kita tidur di sana di atas kursi lipat yang
cukup empuk dan muat untuk kita berdua. Kamu memelukku semalaman hingga kita
tertidur. Besoknya kamu langsung ingin mengganti warna kamar tidur kita dengan
merah muda, tapi tidak kuizinkan. Aku hanya terlalu suka saat kamu
menggendongku ke ruang tamu.
Sayang…
aku tahu ingatan ini menyiksa. Tapi siksaan ini satu-satunya yang berharga
bagiku sekarang. Lewat sakit hati, lewat air mata, aku merasakan keberadaanmu.
TOK!
TOK!
Pintu
depan diketuk. “Sayang… buka pintu…” kata sebuah suara yang tidak asing.
Aku
membuka pintu.
Di
depan pintu, kutemui Sony, suamiku sedang menggenggam segelas kopi yang
kuletakkan di meja di teras tadi. Di hadapanku, diminumnya kopi itu dengan mata
menyipit menahan pahit. Dihabiskannya sampai tak bersisa, lalu tersenyum ke
arahku. Persis seperti yang dilakukannya selama dua tahun bersamaku.
“Maaf
aku telat,” katanya memelas.
“Nggak
apa-apa,” jawabku sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkannya masuk.
Walau dalam hati aku sangat sedih dia datang telat hingga kopi yang kusediakan
untuknya menjadi dingin.
Sony
masuk ke dalam rumah dan melihat ke sekeliling. “Duh, dinding merah jambu ini
lagi,” gerutunya sambil menghembuskan napas berat. Seperti tidak pernah rela.
Aku
hanya meliriknya sambil tersenyum. Gerutuan yang kurindukan akhirnya kudengar
lagi.
“Kamu
nggak buru-buru, sayang? Nanti kamu telat masuk kantor.” Aku mendekati Sony dan
membetulkan dasi yang mengalung di kerah bajunya.
“Hari
ini aku bolos kerja. Ini kan hari istimewa untukmu. Maksudku, untuk kita,”
jawabnya terbata.
Aku
tidak peduli tadi dia terbata karena apa, tapi aku langsung memeluknya. “Aku sangat mencintaimu, sayang.” Hanya
kuucapkan dalam hati.
Kemudian
Sony menuntunku menuju kamar tidur dan memperlihatkan tawa kemenangannya. “Oh,
kamar tidur dengan warna kesukaanku! Kita bertemu lagi!” Sebenarnya tawanya itu
terdengar seperti sangat dipaksakan. Lalu dia melemparkan tubuhnya ke atas tempat
tidur. “Sini…” ajaknya kemudian padaku untuk berbaring di sebelahnya.
Dan
selanjutnya bisa ditebak. Walau aku berbaring di sampingnya, tapi aku sangat
gelisah. Aku masih tidak bisa suka dengan warna dinding kamar itu.
Tapi
Sony langsung menggendong tubuhku keluar kamar tanpa bertanya padaku.
Sepertinya dia sudah merencanakan untuk melakukan hal itu. Dia sangat tahu aku
menyukai caranya menggendongku keluar kamar menuju ruang tamu. Tapi yang tidak
kumengerti, wajahnya terlihat lelah. Dia terlihat tidak bahagia lagi.
Beberapa
menit kemudian kami sampai pada kursi lipat di ruang tamu. Berbaring
bersampingan, berpelukan. Ini adalah momen favoritku.
“Sony,
terima kasih… kamu adalah suami paling romantis di dunia ini.” Aku membenamkan
wajahku di dadanya, memeluknya semakin erat.
Tapi
Sony tak menjawab. Telingaku yang sangat dekat dengan jantungnya mendengar
irama yang sangat tak beraturan. “Sony, kamu kenapa…?” tanyaku.
Lagi-lagi
lelaki yang kucintai itu tak menjawab. Membuatku sungguh khawatir.
Aku
mendongakkan kepala, dan melihat air mata mengucur deras di pipinya.
“Selamat
ulang tahun perkawinan yang keempat…” jawabnya terisak. Rahangnya terlihat dari
balik pipi saling mengadu, seakan menahan sakit.
Mendengar
perkataannya itu, air mataku pun menderu tanpa aba-aba. “Iya, selamat ulang
tahun perkawinan kita yang keempat, Sony…”
Tiba-tiba
Sony melepaskan pelukannya dariku dan duduk di pinggiran kursi lipat.
“Sony…?”
tanyaku was-was sambil duduk di sampingnya dan memeluknya.
“Sudah
cukup…” geramnya pelan.
“Apanya?”
“Sudah
dua tahun aku menemanimu sejak kematian Sony, suamimu, dua tahun yang lalu. Aku
melakukan semua yang Sony lakukan padamu. Aku meminum kopi pahit, berpura-pura
sebagai pekerja kantoran, menggerutu pada dinding, dan menggendongmu saat kamu
gelisah. Aku ingin membuatmu bahagia. Tapi… selama dua tahun kita bersama, kamu
bahkan nggak pernah panggil aku dengan nama asliku. Harlan. Namaku Harlan,
bukan Sony!”
Aku
langsung terdiam bisu dan buru-buru melepaskan pelukanku darinya mendengar
pernyataannya itu. Aku hanya cinta padamu, Sony. Bukan Harlan atau siapapun.
Harlan
berdiri menghadap ke arahku. “Dua tahun kamu bersama Sony, dan dua tahun kamu
bersamaku. Aku pikir kita impas! Tidak bisakah mulai besok kamu mulai mencintaiku
sebagai diriku sendiri? Setidaknya mulai memanggilku dengan nama asliku? Asri…
aku sungguh-sungguh mencintaimu… jauh sebelum kamu mengenal Sony…”
“Aku
hanya mencintai Sony. Dari awal kamu yang menawarkan diri untuk menggantikan
Sony dengan meniru semua perlakuannya padaku. Kalau kamu sudah nggak sanggup,
pergi saja!” jawabku dingin. Maaf Harlan, tidak pernah ada sedikitpun hatiku
kubagi untukmu.
Hening
di antara kami selama beberapa menit sebelum Harlan berlutut dan menangis di
kakiku. Menangis sejadi-jadinya sampai membanjiri daster yang kukenakan.
“Aku
hanya cinta kamu…” gumamnya.
Besoknya.
“Sony,
untuk apa kaleng cat sebanyak itu?” Aku memperhatikan Sony yang sedang
menjinjing beberapa kaleng cat dari gudang rumahku.
Dia
tersenyum. Kali ini dengan senyuman yang terlihat sangat tulus. “Aku ingin
mengganti warna dinding kamar tidur kita. Biar kamu bisa tidur!” jawabnya
bersemangat.
“Jangan!
Biarkan saja warnanya biru dan abu-abu. Aku tidak keberatan! Lagipula, aku suka
kalau kamu menggendongku ke ruang tamu saat aku nggak bisa tidur di kamar.”