Suatu
hari aku berbuat sesuatu yang kuyakini benar. Melakukan apapun untuk
mencapai tujuan. Bahkan dengan menistakan musuh. Idealisme buta.
Hingga di sebuah taman di bawah mendung, anakku yang berumur 10 tahun mendekati dan berkata,
"Ayah, aku belajar di sekolah, kalau awan itu mengambil air dari bumi.
Lalu jika sudah hitam pekat, airnya akan kembali ke bumi. Hujan. Deras,"
katanya sambil menunjuk gumpalan awan di atas kepala kami.
"Pintar!" sahutku sambil mengangkatnya ke udara. Kemudian kuciumi wajahnya dengan kasih sayang.
"Sama dengan pekerjaan semesta." Seorang lelaki tua, kira-kira sudah
berusia lebih dari setengah abad, tiba-tiba berdiri di sebelah kami.
Aku menatap lelaki itu dengan risih.
"Semesta merekam semua perbuatan dan perkataanmu. Lalu suatu hari pasti
dikembalikan lagi kepadamu. Jika tidak, pada anakmu. Jika tidak, pada
cucumu."
"Bicara apa kau?"
"Aku bicara tentang
'karma'. Seperti air dari bumi, ke langit, lalu kembali ke bumi. Deras.
Hunjam. Kita menyebutnya hujan. Tapi bagi semesta, itu adalah karma,"
jawab lelaki itu, lalu berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.
Karma?
Kepalaku terus mengulang-ulang kata itu.
Aku memandangi anakku yang dari tadi ada di pelukanku. Kuhayati tawanya
di dalam telingaku. Kuresapi senyumnya, bahagianya, ke dalam hatiku.
Itu adalah pertama kalinya aku takut memperjuangkan idealisme-ku...
_______________
Cerpen "Idealisme dan Karma"
Tidak ada orang jahat di dunia ini. Kita hanya memperjuangkan keyakinan
yang berbeda, hingga semesta menghakimi salah atau benar.