Versi Dialog:
Leon menatapku. Tuhan, aku harus apa? Lelaki bermata purnama
berwarna cokelat gelap itu selalu berhasil menenggelamkanku di dalam
keindahannya. Tuhan, tolong aku!
“Apa?! Bicaralah. Aku nggak suka dipanggil lalu didiamkan.”
Seperti biasa, Leon selalu memarahiku setiap bertemu dengannya. Tuhan, beri dia
kemampuan untuk membaca pikiran, karena aku tidak sanggup mengatakan langsung
perasaanku padanya.
“Sudahlah. Aku pergi dari sini!” Leon kesal.
“Oh, ya Tuhan. Le-Leon... tu-tunggu...” Aku menarik lengannya
yang mulai beranjak dari hadapku.
Leon mendengus. “Cepatlah, Elisa. Aku harus masuk ke kelas
sekarang!”
“A-aku hanya ingin memberikan ini...” Kuperlihatkan CD musik The Script, band
favoritnya, dari balik punggungku yang kusembunyikan dari tadi. “Se-selamat
ulang tahun!” Oh, Tuhan, kenapa aku selalu tergagap bila berbincang dengannya.
“Aku nggak butuh hadiah dan ucapan ulang tahun dari kamu.” Ketusnya,
lalu mengambil CD musik itu dan melemparnya ke lantai kantin sekolah. Kavernya
pecah. Oh, Tuhan. Hatiku hancur.
Aku tahu hal buruk akan terjadi bila aku melakukan ini. Aku
juga sangat paham Leon selalu kasar padaku. Tapi aku sangat menyukainya. Oh,
Tuhan, jangan marah padanya. Sayangi dia seperti aku selalu menyayanginya
setelah semua kebenciannya padaku selama ini.
Oh, Tuhan. Aku pasti sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku
bisa mendengar bisikan dan tawa yang memuat namaku di dalamnya.
“Ayo kita pergi dari sini.” Seseorang menarik tanganku.
“Kak Ron?” Ternyata kakak kelasku. Ronald.
Lalu dia membawaku menjauh dari kantin. Menghiburku di
lapangan di belakang sekolah seperti yang biasa dia lakukan jika aku sedang
sedih. Kenapa bukan Leon yang bersikap sebaik ini, Tuhan?
Versi Narasi:
Sudah lima menit mereka saling diam di kantin sekolah
setelah Elisa, gadis murid SMA yang sedikit pemalu, memberanikan diri untuk
menyapa Leon. Murid lelaki yang dia sukai sejak setahun yang lalu.
Leon dan Elisa berteman sejak kelas 1 SMA sampai kini mereka
duduk di kelas 2. Tapi Leon selalu bersikap dan berkata kasar pada Elisa. Tapi
tak ada yang mengalahkan rasa cinta muda. Batu pun bisa dijadikan bantal tidur
jika itu tentang seseorang yang jatuh cinta di masa muda. Begitu pula dengan
Elisa yang manis. Sikapnya selalu manis pada Leon.
Setelah beberapa saat, Leon memaksa Elisa untuk mengungkapkan maksudnya. Remaja berusia
tujuh belas tahun itu bahkan meninggikan suaranya, hingga kini mereka menjadi
tontonan teman sebaya dan kakak kelasnya di kantin sekolah. Elisa yang malang,
dia sudah salah memilih tempat untuk mengungkapkan cinta.
DI jam istirahat sekolah ini, sebenarnya Elisa sudah
merencanakan kejutan untuk Leon. Ucapan selamat ulang tahun dan sebuah CD musik
dari band favorit Leon. Gadis berambut hitam legam sebahu itu mengira Leon akan
terkesan dengan kejutannya dan mulai merubah sikapnya. Setidaknya menjadi
sedikit lebih ramah.
Tapi yang didapatinya hanyalah Leon dan sikap kasarnya yang
selama ini akrab di hari-hari Elisa. Seolah tak punya hati, Leon membuang CD
pemberian dari Elisa yang dikumpulkan dari beberapa minggu uang jajan. Dan
dengan dinginnya dia berkata bahwa dia tak memerlukan ucapan selamat ulang
tahun.
Elisa sedih dan dipermalukan.
Lalu tiba-tiba seseorang membawa Elisa pergi dari cacian di
kantin sekolah. Ronald, kakak kelasnya.
Yang Elisa tidak tahu, Leon berterima kasih karena Ronald,
sahabatnya sejak kecil yang juga menyukai Elisa, sudah menyelamatkan Elisa.
Setelah keadaan kantin kembali normal, Leon memungut CD
pemberian Elisa dan membawanya pulang. Menumpuknya di kamar, seperti semua
benda pemberian Elisa lainnya yang dia buang dan pungut kembali.
Oh, jiwa muda yang jatuh cinta susah dimengerti.
No comments:
Post a Comment